Suara Hati Seorang Nelayan ikan (Papekang)




Inilah Aku seorang nelayan/papekang, yang tak jauh dari pinggir laut Sanyup-sanyup suara ombak terdengar ramah. Semilir angin menambah kesejukan malam. Aku terbangun dengan Nikmat terlelap dalam tidur dengan perasaan gundah,
Aku didatangi sesosok cahaya berwarna putih yang sangat terang kemudian berbisik di telinga kanang, "Hei, masih sanggup kau dapatkan ikan dengan pancingan yang kau miliki saat ini. Jangan menyerah" ucapnya.

Aku tetap terlelap dalam tidurku, Pelan air liur mengalir tipis dari mulutnya lalu jatuh perlahan di samping bibirnya. Dihusapnya sesekali lalu tidur kembali.

Cahaya terang kembali melantunkan kalimat. Kali ini, suaranya terdengar jelas di kedua telinga nelayan. "Bukannya kau sendiri yang berdoa meminta padaku agar diberi kesabaran saat menghadapi masa-masa sulit ketika mengarungi laut dan samudra? Kini, aku sedang menguji imanmu agar mampu memaknai dan memahami setiap proses kehidupan. Bukankah demikian?" katanya.

Antara sadar dan tidak, tiba-tiba aku berucap: "Siapa kau? Wujudmu putih dan begitu terang? Aku tidak bisa melihatmu tapi hanya mendengar suara. Aku sudah tak bisa mendapatkan ikan. Pancingan yang kumiliki pasti rusak" serunya. Usai bersenandung, direbahkan kedua tangan dan kakinya dalam-dalam. Nelayan itu kembali dalam mimpi dan tertidur pulas.

Cahaya putih kembali melanjutkan kalimat di telinga nelayan itu, "Jika memang alat pancingmu benar-benar rusak, bisa kau gunakan jala sebagai amunisi berikutnya. Kondisi jala masih bagus karena kau simpan dengan baik. Jala ini adalah peluru terakhir yang kau miliki untuk memburu ikan" ucapnya.

Kali ini, ungkapan cahaya disahut dengan suara ngorok nelayan yang terdengar keras. Ia nampak kelelahan dan tidur sangat nyenyak. Terlihat nikmat sekali. Ahhhhhh...

Dilihatnya nelayan dengan seksama sambil tersenyum geli, cahaya putih kembali berujar sekaligus berpesan kepada nelayan agar tidak menggunakan tombak. Karena, tombak menyisakan luka, dendam, amarah, rintihan, bekas serta aroma yang terus tercium meski dibersihkan setiap saat. Ingat, setiap tombak yang hendak kau hempaskan ke inti jantung ikan jelas akan menderita dan membekas. Jadi, jangan pernah menggunakan tombak. Ingat itu.

Dirasa cukup, cahaya putih pergi dari dunia dan kembali ke alamnya. Keesokan harinya, nelayan bangun seperti biasa. Tidak ada yang aneh dari dirinya. Ia duduk di atas tempat tidur sambil mengusap-usap kedua bola matanya. Diambil gelas berisi air putih, lalu ditegaknya dalam-dalam. Usai menegak air putih, nelayan hendak melanjutkan rutinitasnya. Ketika kedua kakinya hendak melangkah menuju pintu, dilihatnya tiga helai kertas tergeletak di atas meja kerjanya.

Dengan sigap, nelayan mengambil kertas itu. Diamati secara seksama lalu dibacanya isi surat itu. Usai membaca, nelayan baru sadar. Pesan ini sama dengan nasehat yang disampaikan cahaya putih padanya kemarin malam. Tidak percaya, Ia kembali membaca isi dari ketiga surat itu. Kali ini, dibaca dengan teliti dan bersuara. Benar, isi surat serupa dengan nasehat mimpinya semalam. Nelayan bergegas mengambil peralatan lalu pergi melaut berburu ikan.

Pagi itu, hasrat nelayan kembali menggelora. Seakan terlahir kembali dari dunia yang fana ini. Nelayan menjalankan dengan baik wejangan yang disampaikan cahaya putih. Dengan percaya diri, nelayan kembali melaut.

Cuaca terlihat cerah, perahu nelayan sudah berada di tengah-tengah laut sambil berharap ikan datang menghampiri umpan yang terpasang di pancingannya. Sial, berjam-jam menunggu tak ada satu pun ikan yang datang. Sungguh aneh. Mulai perasaan gundah, resah dan gelisah menyelimuti hati dan pikiran si nelayan.

Tak ingin nasib sial menimpa dirinya, Nelayan pun memutuskan kembali ke darat. Diangkatnya pancingan itu dari dalam laut. Saat diangkat, pancingan rusak. Ketika diletakkan di atas perahu, pancingan itu remuk tak tersisa. Nelayan mencoba tersenyum meski hati kecewa dan marah.

Keesokan harinya, nelayan kembali melaut menggunakan jala yang menjadi senjata terakhir untuk mempertahankan hidupnya. Tapi apa daya, jala itu juga tak mampu menahan ideologi, hasrat, ego dan gengsi ikan-ikan di laut. Justru, jala itu rusak. Nelayan pulang ke rumah dengan hati sengkarut.

Malam sunyi, nelayan duduk termenung di dalam kamar. Bayangannya nampak samar di balik nyala sebatang lilin yang diletakkan di atas meja kerjanya. Dikatupkan kedua tangan, kemudian nelayan mulai berdialog dengan pencipta. Pelan dan sangat syahdu.

Lamat-lamat, air matanya menetes diiringi senandung sajak-sajak ampun yang telah diperbuat selama Ia menjadi nelayan. Di tengah untaian kalimat-kalimat pedih, tiba-tiba muncul cahaya terang. Sontak, betapa kagetnya nelayan itu. Ia pun mencoba memandang sinar cahaya. Bahkan, ingin menyentuh cahaya sinar itu, tapi tidak bisa.

Kedua matanya tak bisa melihat, hanya bisa mendengar suara yang menggelegar begini "Tugasmu merawat jala dan pancingan telah usai. Begitu pula dengan ikan-ikan yang hendak kau tangkap, mereka tidak akan kembali. Mereka sudah terseret ombak. Ombak yang dahsyat. Kini, kembalilah ke jalanmu dan berdoalah dengan kebenaran karena disitu cinta akan ditemukan".pesan sinar lalu hilang dari wajah belang nelayan.

Sejak saat itu, nelayan memutuskan berhenti melaut karena telah menyadari bahwa yang indah di kejauhan hanya tergapai oleh mata, sementara yang kekal dalam kenangan akan terus mengisi jiwa. Sama halnya dengan ikan-ikan yang telah pergi, kelak akan mengerti bahwa lari bukanlah suatu jawaban dan bersembunyi bukanlah sebuah alasan.